MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA (4)
MUTIARA ILMU SYARIAT (Bagian 04)
Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khidir.
Sesampainya di dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat
samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati
semakin jauh tampaknya. Kanjeng Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai
apa yang kamu lihat?”
Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya
yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana
kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak
kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya
bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Kanjeng Nabi Khidir
berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”. Tiba-tiba
Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak
Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi Khidir malayang
di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya
melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas
serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang
rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang
lain dari yang lain.
Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut, “jangan
berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa
yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawad, “Ada warna empat macam
yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat
macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”.
Berkata
Kanjeng Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak
tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di
dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu
disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam
sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal
bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu.
Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan
terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh
Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta
gembira.
Kanjeng Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun
yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalanya. Sebab
isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan,
semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti
dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra
diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu
menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan
menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia.
Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa,
maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom
Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang
Pencipta. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama,
bahwa penghalang yang ada dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu
kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih
perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara
membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.
Sedangkan
yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala
keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan,
hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup
yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya
mengahalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik.
Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya
membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang
putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini
itu, pahlawan dalam kedamaian”.
Kanjeng Nabi Khidir memberi
kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi.
Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat dirasakan manusia
akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima
anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu
tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka
senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi
hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa
teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau
sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga
hala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu
semua tidak akan terjadi persatuan eret antara manusia dan Penciptanya”.
Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai
tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi
kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
Kanjeng Nabi Khidir
kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna ada
hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata,
“Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya, nyala satu
delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin
jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada
yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.
Sang Kanjeng
Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirmu
sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada
dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga
seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara,
barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah,
kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan alam
semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada
dalam dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia
kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa
yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk
yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan
cermat semua itu”. Syekh Malaya mengamati, “yang seperti cahaya
berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar
mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari
dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”
Kanjeng
Nabi Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan,
yang dapat mmenguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat
kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak
dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan
oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran
(simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang
kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang
benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana
itulah sebutannya.
Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu
pada dirmu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka, tempat
tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit
dan menderita jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjdi tak
berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah letak
kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia.
Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula
pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.
Hidupnya karena adanya
Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh
badan. Permana itu bila mati ikut menggung, namun bila telah hilang
nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan
itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang
sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang
Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.
Menjawablah
Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?” kanjeng
Nabi Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan
nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya
menyela pembicaraan< “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham
betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan
tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil”.
Kanjeng Nabi
Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan
sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya
seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang
bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang
penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di
sifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir
yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu
ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar,
ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam
keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap
pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah
hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena
sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal
atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan
nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad
itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu
sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang
disebut atau dinamakan neqdu”.
Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi
Khidir berkata pelan, “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa
hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga
darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah
rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk
merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama
dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang
disebut darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati! Apa darahnya?
Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma.
Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi.
Pengertian jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulu kala
yaitu Alif yang disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata, tidak
berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan
itulah Alif, yang artinya, menjadi Alif itu karena dijabarkan atau
dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?.
Setelah
mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang
menjadi inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidir berkata, “Adapun wujud
sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu. Yang
dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk menjadikan
terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya
Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga.
Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani
memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri!
Adapu sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu
berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena
adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng Nabi Khidir menandaskan
penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad
yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya sebagai berikut : kalau tidak
ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan
sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga
kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan
ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.
Dan untuk
menjelaskan jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan
Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu
semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang
Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin
dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak
mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan
setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik
(Asmaul Husna)”. Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidir bertanya, “Apakah kamu
sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di
akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah,
sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku……”.
Kanjeng
Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan
memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu,
ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula
Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati
sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk
mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan
memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara
tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan
jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi
iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan
kepada Allah. Alif tercipka karena sudah menjadi ketentuan yang sudah
digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak
dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan,
itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu
Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo
dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar
awal ibarat bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak
akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia.
Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu,
telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di
dalam jauhar awal.
Dari keterangan tentang jauhar awal tadi,
tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib
shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan
menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan ketentuan di zaman
azali, kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri tegak,
bersidakep mencipkatakan keheningan hati, bersidekep menyatukan
konsentrasi, menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau satukan,
akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih karena
malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga
tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rhasia iman dapat kau resapi. Setelah
merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula
dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya
sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat
melihat Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak
kita (pelajaran tentang ikhsan). Dengan adanya agama Islam yang
dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu
itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala
diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak
tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya
demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi
ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu?
Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal
sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau
sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan
diri dengan sesungguhnya.
Dan janganlah sekali-kali dirimu
menggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi
Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya herus jeli,
sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari
Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi
Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliu sering
menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau
mengeluarkan shodagoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji.
Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat”.
Bersambung……………..